Tafsir Al-An'am ayat 105, Al-A'raf ayat 169, dan Saba' ayat 44
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kalamullah, yang
berisi tentang ketentuan dan pedoman bagi seluruh manusia agar dapat
melaksanakan syariat islam dengan benar dan harus diimplementasikan secara
kaffah dalam aspek kehidupan, baik yang menyangkut masalah sosial, politik,
ekonomi, kebudayaan, pertahanan, dan keamanan maupun pendidikan.
Kedudukan al-Qur’an sebagai sumber
pokok pendidikan islam dapat dipahami dari ayat: Dan kami tidak menurunkan
kepadamu al-kitab (al-qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang
mereka perselisihkan itu menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajar orang-orang yang
mempunyai pikiran.
Menurut Abu Hasan ‘Ali An-Nadwi
bahwa pendidikan dan pengajaran umat islam itu harus berpedoman kepada aqidah
islamiyyah yang berdasarkan al-qur’an dan al-hadits. Pada makalah ini penulis
akan coba menjelaskan pengertian tadris berdasarkan ayat Al-Qur’an.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah Pengertian Tadris?
2.
Bagaimana Tafsir yang terkandung dalam Surah Al-An’am ayat 105 ?
3.
Bagaimana Tafsir yang terkandung dalam Surah Al-A’raf ayat 169 ?
4.
Bagaimana Tafsir yang terkandung dalam Surah Saba’ ayat 44 ?
5.
Apa Kandungan Tadris dalam tafsiran?
C.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui pengertian Tadris.
2.
Mengetahui Tafsir yang terkandung dalam Surah Al-An’am ayat 105.
3.
Mengetahui Tafsir yang terkandung dalam Surah Al-A’raf ayat 169.
4.
Mengetahui Tafsir yang terkandung dalam Surah Saba’ ayat 44.
5.
Mengetahui Kandungan Tadris
dalam tafsiran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tadris
Tadris
merupakan masdar yang berasal dari kata دَرَسَ-يَدرُسُ-دَرسًا
yang berarti pengajaran atau pembelajaran. Dalam Kamus Bahasa
Indonesia pengajaran berarti proses, cara, perbuatan mengajar. Dalam pengajaran
adanya interaksi antara yang mengajar (muddaris) dan yang belajar (mutadaris). Secara
luas At-tadris adalah upaya menyiapkan murid agar dapat membaca, mempelajari
dan mengkaji sendiri, yang dilakukan dengan cara pengajar membacakan,
menyebutkan berulang-ulang dan bergiliran, menjelaskan, mengungkap dan
mendiskusikan makna yang terkandung di dalamnya sehingga murid mengetahui,
mengingat, memahami, serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan
tujuan mencari ridha Allah. At-Tadris dalam Hadits: Al-Juzairi memaknai tadarrusu
dengan membaca dan menjamin agar tidak lupa, berlatih dan menjamin sesuatu.[1]
Jadi, tadris
adalah pengajaran atau pembelajaran yang dilakukan dengan cara membacakan,
menjelaskan dan mendiskusikan supaya peserta didik dapat memamahi serta
mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
B.
Q.S Al-An’am ayat 105
وَكَذَلِكَ نُصَرِّفُ الآيَاتِ
وَلِيَقُولُواْ دَرَسْتَ وَلِنُبَيِّنَهُ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ -١٠٥-
“Demikian
itulah kami menganekaragamkan ayat-ayat Kami dan yang mengakibatkan orang-orang
musyrik mengatakan: “Engkau telah mempelajari” dan supaya Kami menjelaskan
al-Qur’an itu kepada orang-orang yang mengetahui.”
Dalam tafsir Al Misbah dijelaskan bahwa,
setelah mengingatkan fungsi Nabi Saw, kelompok ayat ditutup dengan firman-Nya:
Demikian, yakni seperti penjelasan yang beranekaragam itulah Kami
menganekaragamkan serta mengulang-ulangi
ayat-ayat, yakni bukti-bukti kami baik yang terhampar di alam raya
maupun terhidang di dalam al-Qur’an supaya orang-orang yang beriman mendapat
petunjuk dan yang pada akhirnya mengakibatkan orang-orang musyrik mengatakan
terdorong oleh kekeraskepalaannya dan kebejatan hati mereka bahwa Nabi Muhammad
Saw, telah mempelajari ayat-ayat itu dari Ahl al-Kitab atau siapa pun sehingga
sekali-kali ia bukan wahyu dari Allah, dan supaya Kami menjelaskan al-Qur’an
itu kepada orang-orang yang mengetahui, sehingga tidak seorang diantara mereka
yang menduga bahwa kamu mempelajarinya dari manusia atau makhluk apapun.
Kata (دَرَسْتَ) darasta terambil dari kata (دَرَس) darasa yang berarti engkau pelajari, yakni membaca dengan seksama
untuk menghafal atau mengerti. Ada juga yang membaca dengan memanjangkan huruf dal,
yakni (داَرَسْتَ) daarasta dalam arti engkau membaca dan dibacakan, yakni oleh Ahl
al-Kitab. Bacaan ketiga adalah (دَرَست) darasat dalam
arti telah berulang, maksudnya uraian-uraian al-Qur’an telah berulang
kali terdengar dalam dongeng-dongeng lama. Bacaan mayoritas adalah yang berarti
engkau pelajari,ini serupa dengan firman Allah Swt. : dan
sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata :”Sesungguhnya al-Qur’an itu
diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).” Padahal bahasa yang
mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘Ajam, sedang
al-Qur’an adalah bahasa Arab yang terang. (Q.S. An-Nahl : 103). Bahasa
‘Ajam ialah bahasa selain Arab dan dapat juga berarti bahasa Arab yang tidak
baik, karena orang yang dituduh mengajar Muhammad saw. itu bukan orang Arab dan
hanya tahu sedikit bahasa Arab.
Keanekaragaman
dan keistimewaan yang dipaparkan al-Quran dan penjelasan-penjelasannya yang
diuraikan oleh Nabi Muhammad Saw. sungguh mengegumkan setiap orang. Sedemikian
mengagumkannya sampai-sampai kaum musyrikin menyatakan baha Nabi Muhammad Saw.
mempelajarinya dari orang lain, karena uraian semacam itu menurut mereka tidak
mungkin datang kecuali dari seorang yang sangat berpengetahuan padahal Nabi
Saw, adalah seorang yang tidak dapat membaca dan menulis.
Apa yang
dikatakan oleh kaum musyrikin adalah salah dan bukan pada tempatnya, bagaimana
mungkin Nabi Muhammad Saw, belajar dari Ahl al-Kitab, padahal mereka tahu dan
sejarah menginformasikan bahwa beliau tidak pernah belajar kepada siapapun.
Bahkan jika beliau mempelajarinya dari orang lain, informasi, petunjuk-petunjuk
bahkan redaksi yang disampaikan tidak akan seindah al-Qur’an.
Banyak
orientalis berupanya mencari celah terhadap al-Qur’an dan mencari kesamaan
antara al-Qur’an dengan kitab-kitab sebelumnya. Menganggap al-Qur’an sebagai
teks curian, terutama bila menemui kebenaran umum yang mirip dengan yang
terdapat dalam Taurat atau Injil. Abbdurrahman Badwi memberikan contoh antara
lain yang dikemukakan Clermont Ganneau tentang perumpamaan cahaya dalam surah
an-Nuur ayat 35 yang artinya : “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan
bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di
dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca, (dan) tabung kaca
itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon
yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula
di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak
disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah Memberi petunjuk
kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia Kehendaki, dan Allah Membuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Dan berikut
adalah perbandingannya, Mac Donald berpendapat, “dilihat dari susunan bahasa,
sepertinya ayat tersebut menyinggung masalah pelayanan Ketuhanan yang terdapat
di gereja-gereja dan biara-biara, yaitu bentuk pelayanan yang terlihat pada
altar gereja yang bersulam cahaya. Selain itu, ungkapan al-Qur’an ada kaitannya
dengan istilah “cahaya alam” dalam Injil
dan cahaya dari cahaya. Abdurrahman berkomentar bahwa anggapan seperti ini
tidak mungkin dilewatkan begitu saja yakni : cahaya-cahaya di altar gereja
cukup banyak, sedangkan al-Qur’an menyebutkan satu cahaya yang menyinari langit
dan bumi”.
C. Q.S Al-A’raf ayat 169
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ
وَرِثُواْ الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَـذَا الأدْنَى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ
لَنَا وَإِن يَأْتِهِمْ عَرَضٌ مِّثْلُهُ يَأْخُذُوهُ أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِم
مِّيثَاقُ الْكِتَابِ أَن لاَّ يِقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقَّ
وَدَرَسُواْ مَا فِيهِ وَالدَّارُ الآخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ
أَفَلاَ تَعْقِلُونَ -١٦٩-
“Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi
Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata:
"Kami akan diberi ampun". dan kelak jika datang kepada mereka harta
benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga).
Bukankah Perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, Yaitu bahwa mereka tidak
akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, Padahal mereka telah
mempelajari apa yang tersebut di dalamnya? dan kampung akhirat itu lebih bagi
mereka yang bertakwa. Maka Apakah kamu sekalian tidak mengerti?”.
Telah
dijelaskan sebelum ayat ini yaitu membicarakan tentang generasi-generasi
terdahulu, bahwa diantara mereka ada orang-orang yang baik (saleh) dan ada yang
tidak demikian. Selanjutnya didalam ayat ini membicarakan tentang datangnya
generasi baru (sekelompok Yahudi), generasi yang lebih buruk lagi. Yang
mewarisi kitab suci Taurat yang tidak memanfaatkan petunjuk-petunjik yang ada
di dalamnya. Mereka terus menerus mengambil barang duniawi atau barang-barang
yang cara mendapatkannya dengan dengan cara haram. Mereka selalu berpendapat
bahwa perbuatannya itu akan diampuni oleh Allah walaupun mereka tidak
bertaubat, karena mereka adalah kekasih Allah.
Sehingga mereka merasa aman dan
tidak berhenti-berhenti melakukan perbuatan dosa dan mengumpulkan barang yang
haram. Padahal telah terdapat perjanjian yang kuat dari mereka oleh Allah
melalui Rasul mereka di dalam kitab suci Taurat, bahwa tidak ada yang menjamin
adanya pengampunan dari Allah melainkan dengan cara bertaubat.
Ada yang
berkata bahwa perjanjian itu hanya diketahui oleh generasi-genersi terdahulu
dan tidak diketahui oleh generasi-generasi baru. Maka di dalam ayat ini
dilanjutkan bahwa didalam kitab suci Taurat telah terdapat tuntunan Taurat dan
perjanjian tersebut. Padahal mereka juga sudah mempelajari apa yang ada di
dalam kitab Taurat tersebut. Sungguh mereka telah mengingkari perjanjian dan
mengabaikan tuntunan-tuntunan yang ada. Sebenarnya orang-orang yang taqwa itu hidupnya
di akhirat lebih enak dari pada orang-orang yang melakukan pelanggaran.[2]
Dapat diambil
kesimpulan yang terdapat dalam kalimat “Padahal mereka juga sudah
mempelajari apa yang ada di dalam kitab Taurat” , tetapi kenyataannya
mereka telah melanggar tuntunan yang ada. Jadi generasi-generasi baru (sebagai
murid) yang terdapat dalam ayat ini meskipun telah mempelajari, mereka harus
bisa mengetahui, mengingat, memahami, dan mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari sesuai dengan yang di lakukan generasi sebelumnya. Dan generasi
lama (sabagai guru) harus bisa menjelaskan dan memberikan contoh yang baik
sesuai dengan tuntunan yang ada dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan
mencari ridho Allah SWT.
D. Q.S Saba’ ayat 44
{44}
رٍنَذِي
مِنْ قَبْلَكَ إِلَيْهِمْ أَرْسَلْنَا وَمَا يَدْرُسُونَهَا كُتُبٍ مِنْ آتَيْنَاهُمْ وَمَا
“Dan Kami tidak pernah
memberikan kepada mereka kitab-kitab yang mereka dapat baca dan sekali-kali
tidak pernah (pula) kami mengutus kepada mereka sebelum kamu seorang pemberi
peringatan pun”
Ayat-ayat
diatas masih melanjutkan uraian tentang sikap dan sifat buruk kaum musyrikin
Mekkah yang dihadapi oleh Nabi Muhammad saw.
Allah berfirman bahwa mereka itu bersikap seperti yang diuraikan ayat
yang lalu – yakni menolak tuntunan al-Qur’an dan menilainya sihir dan Nabi saw
berbohong dan yakni padahal Kami tidak
pernah memberikan kepada mereka kaum musyrikin Arab itu kitab-kitab yang
mereka senantiasa dan dari saat ke saat dapat baca sebelum kehadiran al-Qur’an
ini dan sekali-kali tidak pernah pula Kami
mengutus kepada mereka secara khusus sebelummu wahai nabi Muhammad seorang pemberi peringatan pun sehinga
dengan ketiadaan itu mereka tidak dapat berdalih mengungkap sikap penolakan
mereka, bahkan dengan kedatangan kitab suci dan kehadiran Nabi itu, mereka
seharusnya bergembira dan menyambutnya dengan baik.
Kata yadrusunaba’ terambil dari kata darasa yang berarti membaca secara perlahan disertai dengan upaya sungguh-sungguh untuk
memahami, yakni mempelajari dengan tekun.
Ayat ini sejalan
maknanya dengan firman Allah:
يُشْرِكُونَ بِهِ اكَانُو بِمَا يَتَكَلَّمُ فَهُوَ سُلْطَانًا عَلَيْهِمْ أَنْزَلْنَا أَمْ
“Atau
pernahkah Kami menurunkan kepada mereka keterangan, lalu keterangan itu
menunjukkan (kebenaran) apa yang mereka selalu mempersekutukan dengan Tuhan?”
(QS. ar-Rum [30]: 35, demikian juga firman-Nya:
مُسْتَمْسِكُونَ بِهِ فَهُمْ قَبْلِهِ مِنْ ا كِتَابً آتَيْنَاهُمْ أَمْ
"Atau
adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada merek sebelum Al-Qur'an, lalu mereka
berpegang dengan kitab itu (yang anjurkan penyembahan kepada malaikat atau
jin)?."
(QS.az-Zukhruf
[43]:21).
Firman-Nya: Sekali-kali tadak pernah (pula) Kami
mengutus kepada mereka sebelum seorang pemberi peringatan pun yang dimaksud adalah pengutusan yang bersifat
menyeluruh mencakup semua manusia. karena itu pernyataan ayat ini tidak
bertentangan dengan kehadiran Nabi Ibrahim dan Isma’il as. yang juga diutus
kepada masyarakat Mekkah, sebab risalah mereka itu adalah risalah yang
terbatas. Dapat juga ayat diatas dipahami dalam arti Allah belum pernah
mengutus seorang pemberi peringatan pun kepada masyarakat Mekkah, sebelum Nabi
Muhammad saw yakni sejak mas Isa as.
Sementara ulama
memahami ayat ini sebagai kecaman kepada kaum musyrikin yang keadaan mereka
tidak seperti orang Yahudi dan Nasrani yang telah memperoleh kitab suci dan
didatangi oleh para Nabi.
E. Kandungan Tadris dalam tafsiran
Nilai
tarbiyah yang terkandung dari ayat-ayat yang telah dipaparkan adalah sebagai
berikut :
1. Seorang guru adalah pembimbing anak
didiknya agar tidak tersesat dalam kehidupannya.
2. Belajar itu harus dilakukan secara
berulang-ulang.
3. Dalam melakukan proses pembelajaran
harus mengacu pada buku (sumber belajar). Sumber belajar harus mendukung pada
tujuan pembelajaran.
4. Dalam menyampaikan ilmu seorang guru
haruslah berakhlak mulia, mengajarkan dengan kelembutan bukan dengan kekerasan,
karena apabila mengajar dengan kekerasan, maka murid akan lari dan ilmu tidak
tersampaikan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Tadris berasal
dari tasrif دَرَسَ-يَدرُسُ-دَرسًا
yang memiliki arti belajar
atau pembelajaran. Dapat dikatakan juga tadris adalah pengajaran atau
pembelajaran yang dilakukan dengan cara membacakan, menjelaskan dan
mendiskusikan supaya peserta didik dapat memamahi serta mengamalkan dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Dalam tafsiran
surah Al-An’am ayat 105 yaitu, dalam belajar dan pembelajaran seorang guru harus mengetahui
sumber-sumber pembelajaran yang benar.
3. Dalam tafsiran
surah Al-A’raf ayat 169 yaitu, Dapat diambil kesimpulan yang terdapat dalam
kalimat “Padahal mereka juga sudah mempelajari apa yang ada di dalam kitab
Taurat” , tetapi kenyataannya mereka telah melanggar tuntunan yang ada.
Jadi generasi-generasi baru (sebagai murid) yang terdapat dalam ayat ini
meskipun telah mempelajari, mereka harus bisa mengetahui, mengingat, memahami,
dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan yang di lakukan
generasi sebelumnya. Dan generasi lama (sabagai guru) harus bisa menjelaskan
dan memberikan contoh yang baik sesuai dengan tuntunan yang ada dalam kehidupan
sehari-hari dengan tujuan mencari ridho Allah SWT.
4. Sebelumnya,
Allah tidak pernah menurunkan kepada bangsa Arab kitab suci yang dapat mereka
pelajari. Dan sebelum kedatanganmu, Muhammad, Kami tidak pernah mengutus kepada
mereka seorang pemberi peringatan yang mengingatkan akibat buruk dari sikap
ingkar mereka.
5. Nilai tarbiyah yang terkandung dari
ayat-ayat yang telah dipaparkan adalah Seorang guru adalah pembimbing anak
didiknya, Dalam menyampaikan ilmu seorang guru haruslah berakhlak mulia.
B.
Saran
Makalah ini ditujukan
kepada seluruh pembaca, baik pendidik meupun peserta didik, dengan tujuan
memahami tadris dalam pendidikan. Makalah ini masih sangat jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran yang membangun. Semoga
memberikan manfaat untuk kita. Amin.
C.
DAFTAR
PUSTAKA
Rosidin,
Dedeng. 2003. Akar-akar Pendidikan. Bandung : Pustaka Umat.
Shihab,
M Quraish. 2007. Tafsir Al-Misbah. Jakarta : Lentara Hati
Komentar
Posting Komentar